Rabu, 11 Maret 2015

Kecurangan Pengelolaan Keuangan Negara masih "akan" terjadi ?



Kecurangan yang dilaporkan oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) yang didasarkan dari hasil survey di 106 negara pada tahun 2010,  kerugian yang diakibatkan oleh kecurangan perusahaan di seluruh dunia adalah sekitar 5% dari total pendapatan tahunan atau jika diaplikasikan pada nilai estimasi nilai Gross World Product  tahun 2009 mencapai nilai kerugian potensial sebesar $2,9 milyar. Dari kasus-kasus kecurangan tersebut, jenis kecurangan yang paling banyak terjadi adalah asset misappropriations (86%), kemudian disusul dengan korupsi (33%) dan jumlah paling sedikit (5%) adalah kecurangan laporan keuangan (fraudulent statements). Walaupun demikian kecurangan laporan keuangan membawa kerugian paling besar yaitu dengan median kerugian sekitar $4,1 juta (ACFE, 2010). Hasil survei ACFE sama dengan hasil survei KPMG Australia tahun 2012 “Fraud Barometer” bahwa sebagian besar organisasi yang menjadi korban fraud adalah komersial, keuangan dan pemerintahan (Diaz, 2013).
         Di Indonesia, kecurangan masih banyak dijumpai pada pengelolaan keuangan Negara. Berdasarkan data penanganan tindak pidana korupsi oleh KPK periode 2004 s.d. 2014 (31 Agustus 2014) lebih banyak ditemukan di lingkungan Kementerian/ Lembaga sebanyak 166 perkara, disusul Instansi Pemerintah Kabupaten/Kota yakni sebanyak 90 perkara, dan Pemerintah Provinsi sebanyak 52 perkara. Sedangkan apabila dilihat dari pelaku tindak pidana korupsi selama periode 2004 s.d. 2014 (31 Agustus 2014) jumlah pelakunya sebanyak 429 orang dengan tiga jabatan pelaku korupsi terbesar adalah pejabat eselon I,II,III (115), Swasta (103) dan Bupati/Walikota/Wakil Bupati (40).
Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (APH) atas penanganan-penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi oleh Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, untuk tahun 2014 telah menetapkan tersangka kasus korupsi sebanyak 1.328 orang atau naik  57 orang dibandingkan tahun 2013 sebanyak 1.271 orang (Koran Sindo, 18 Februari 2015). Hal ini menunjukkan tindakan represif masih belum mampu mengurangi perilaku dan praktik koruptif, sehingga harus disertai dengan upaya pencegahan yang membumi (Zulkarnaen, 2014).
       Keberhasilan strategi pencegahan diukur berdasarkan peningkatan nilai Indeks Pencegahan Korupsi, yang hitungannya diperoleh dari dua sub indikator yaitu Control of Corruption Index dan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) yang dikeluarkan oleh World Bank. Pada kenyataannya, Indeks persepsi korupsi (IPK) tahun 2012 yang dikeluarkan oleh Transperancy International, masih menempatkan Indonesia berada pada peringkat 118 dengan nilai IPK 3,2. 
        Berdasarkan Hasil Pemetaan Kapabilitas Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Tahun 2010, 2011, dan 2012 yang menyatakan bahwa 92,32% APIP masih terjerembab pada level 1, artinya, audit terbatas untuk ketaatan, output tergantung pada keahlian orang pada posisi tertentu, dan tidak menerapkan praktik professional secara spesifik selain yang ditetapkan asosiasi professional. Intinya, APIP tidak memiliki ’key process area’ yang spesifik (Warta Pegawasan, 2013). Salah satu kasus kegagalan pendeteksian kecurangan oleh auditor yang pernah terjadi adalah skandal pada PT Kimia Farma Tbk. Dalam kasus tersebut, auditor tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan PT Kimia Farma Tbk.
        Pemberantasan korupsi itu prinsipnya follow the money, karena sifatnya historical, jadi harus diaudit. (Akuntan, 2014). Akuntan forensik harus sadar bahwa kecurangan hanya bisa terjadi karena persekongkolan, sehingga akuntan forensik harus memiliki intuisi yang tajam untuk merumuskan teori persekongkolan. Prof.Dr.Eddy Mulyadi Soepardi,CA menyatakan dua dari lima alat bukti adalah pekerjaan auditor atau akuntan yaitu berupa bukti surat dan keterangan ahli (Akuntan,2014). Sejak 2005 s.d September 2013 terkait dengan kasus korupsi total laporan yang sudah dikerjakan BPKP mencapai 11.752, termasuk didalamnya laporan audit menghitung kerugian Negara atau memberi keterangan ahli, antara lain di kejaksaan 4.600, kepolisian 2.900-3000, KPK 283 dan dipengadilan 3.809, dengan kerugian ditaksir mencapai Rp22 trilyun (Akuntansi, 2014). Namun demikian, dari hasil penelitian Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) yang disampaikan melalui Report to Nation  tahun 2010 mengungkapkan kecurangan hampir 35,80% karena ada yang “membocorkan” (tip), 15,40% terungkap oleh manajemen review sedangkan yang dapat diungkap oleh auditor hanya 11,60% oleh internal auditor dan 5,20% oleh eksternal auditor. Hasil penelitian tersebut menunjukkan  masih rendahnya peran auditor dalam pengungkapan kecurangan (ACFE dalam Tuanakota, 2011).