Sabtu, 19 Januari 2013

Masih Kewenangan

 Adalah benar kalau korupsi dikatakan sebagai extra ordinary crime, karena tidak saja akibat yang ditimbulkan sangat  merugikan masyarakat tapi pelakunya adalah orang yang punya kekuatan besar untuk mentupi kejahatannya, yaitu :

  1. Kekuasaan, pelaku korupsi terutama dilakukan oleh orang yang punya kekuasaan urntuk memerintahkan orang untuk melakukan apa yang diinginkan, setidaknya dapat mempengaruhi orang untuk melakukan tindakan sesuai dengan keinginannya.
  2. Kepandaian, pelaku korupsi cenderung orang yang mempunyai latar pendidikan yangbaik, yang tentunya dapat mengetahui aturan aturan yang berlaku dan disisi lain pelaku tahu celah dan atau kelemahan dari aturan sebagai alasan rasionalisasi.
  3. Kekayaan/Uang, karena biasanya korupsi merupakan tindakan yang berkelanjutan dan atau berulang maka pelaku biasanya mempunyai kekayaan yang cukup. Namun keserakahan membuat orang untuk tidak berhenti mengumpulkan pundi pundi kekayaan dengan cara yang haram dan jika tertangkap maka sebagian uang korupsi dapat digunakan untuk membebaskannya.
  4. Kamuflase, untuk menutupi kejahatan yang dilkakukannya, pelaku seringkali kelihatan sebagai sosok yang alim, dermawan, berpendidikan dan bisa juga tampil sebagai wajah orang yang teraniaya.
Dengan  kekuatan yang dimiliki oleh pelaku korupsi, maka penanganan korupsi menjadi hal yang tidak mudah dalam pembuktian karena banyak hambatan yang dihadapi oleh instansi  penyidik maupun auditor yang mengauditnya. Hambatan hambatan itu dapat berupa :
  1. Hambatan pembuktian, adalah tidak mudah mencari bukti penyimpangan pelaku yang dapat digunakan sebagai alat bukti dalam sistem hukum di indonesia. Dengan kekuatan yang dimiliki bukti kejahatan dengan mudah dapat disembunyikan dan pihak yang terkait berupaya menghapus bukti karena korupsi hampir tidak mungkin dilakukan tanpa keterlibatan orang lain.
  2. Hambatan sosial politis, kekuatan yang dimiliki oleh pelaku telah menyeret komunitas tertentu mendapat keuntungan atas hasil kejahatan pelaku, sehingga komunitas sosial politik terbelenggu dan cenderung menutupi kejahatan pelaku.
  3. Hambatan kewenangan, ketika kekuasaan telah begitu besar dipengaruhi oleh  pelaku korupsi, maka segala cara dilakukan untuk menghambat penyelesaian penanganan korupsi, diantaranya dengan mempertanyakan kewenangan instansi yang menangani tindak pidana korupsi.
Suatu contoh, ketika seseorang diadili dalam perkara TPK, yang didasarkan atas hasil perhitungan kerugian negara oleh BPKP, maka dalam upaya untuk lepas dari jerat hukum yang bersangkutan mempermasalahkan kewenangan yang dimiliki BPKP yang telah menerbitkan Laporan Hasil Audit dalam rangka perhitungan kerugian keuangan negara tersebut. Dalam suatu kasus terdapat permintaan pengujian konstitusional terhadap pasal 6 huruf a dan penjelasan pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan :

Pasal 6 huruf a UU KPK :
    ^KPK mempunyai tugas : (a) koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan      pemberantasan tindak pidana korupsi.....^

Penjelasan Pasal 6 UU KPK :
   ^Yang dimaksud dengan ^instansi berwenang^ termasuk BPK, BPKP, KPKPN, Inspektorat  pada      Departemen atau lembaga Pemerintah Non Departemen^

Makkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 31/PUU-X/2012 berpendapat :
Kewenangan BPKP dan BPK masing masing telah diatur secara jelas dalam Peraturan Perundang- undangan. BPKP merupakan salah satu lembaga pemerintah yang bekerja berdasarkan Keppres 103 Tahun 2001. Dalam ketentuan tersebut bahwa BPKP mempunyai wewenang melaksanakan tugas pemerintah dibidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai ketentuan yang berlaku. Pada ketentuan umum PP Nomor 60 Tahun 2008 menyatakan BPKP adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Pasal 47 ayat 2 PP 60 Tahun 2008 menyatakan : ^Untuk memperkuat sistem pengendalian intern dilakukan : a. pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi pemerintah termasuk akuntabilitas keuangan negara dan b. pembinaan penyelenggaraan SPIP.
Pasal 49 PP 60 Tahun 2008 tersebut menyebutkan BPKP sebagai salah satu aparat pengawasan intern pemerintah dan salah satu dari pengawasan itu termasuk audit investigatif.
            Dengan demikian, tugas dan kewenangan BPKP telah jelas diatur dalam peraturan perundang undangan yang berlaku. Mengenai terbukti atau tidak terbuktinya kerugian negara yang disebutkan dalam LHPKKN atau sah tidak sahnya LHPKKN tersebut tetap merupakan wewenang mutlak dari hakim yang mengadilinya.