Senin, 23 Maret 2015

FRAUD DETECTION




Petunjuk adanya kecurangan biasanya ditunjukkan oleh munculnya gejala-gejala (symptoms) seperti adanya perubahan gaya hidup atau perilaku seseorang, dokumentasi yang mencurigakan, keluhan dari pelanggan ataupun kecurigaan dari rekan sekerja.
Menurut Dr. Steve Albert (3th 2009) :
To detect fraud, managers, auditors, employees, and examiners must recognize these fraud indicators or symptoms (sometimes called red flags) and investigate whether the symptoms resulted from actual fraud or were caused by other factors. Unfortunately, many fraud symptoms go unnoticed, and even symptoms that are recognized are often not vigorously pursued. Many frauds could be detected earlier if fraud symptoms were investigated. Symptoms of fraud can be separated into six groups: (1) accounting anomalies, (2) internal control weaknesses, (3) analytical anomalies, (4) extravagant lifestyle, (5) unusual behavior, and (6) tips and complaints.

Senada dengan itu, Valery G Kumaat (2011:156) menyatakan bahwa  mendeteksi fraud adalah upaya untuk mendapatkan indikasi awal yang cukup mengenai tindakan fraud, sekaligus mempersempit ruang gerak para pelaku fraud (yaitu ketika pelaku menyadari prakteknya telah diketahui, maka sudah terlambat untuk berkelit). 

Atribut pengendalian untuk mendeteksi adanya fraud menurut Pedoman Teknis Fraud Control Plan (FCP) BPKP, 2010 terdiri dari :
  1. Sistem pelaporan kejadian fraud;
  2.  Perlindungan pelapor
     Sistem Pelaporan Kejadian fraud memerlukan sistem yang dapat mendorong agar masyarakat menempuh langkah yang tepat serta terlindungi, sehingga setiap organisasi harus mempunyai sistem pelaporan untuk keperluan arus informasi kejadian fraud kepada Pejabat yang berwenang, bukan hanya bermanfaat untuk melaporkan kejadian fraud namun juga mengidentifikasi area yang perlu disempurnakan. Menurut Nurharyanto (2013 hal. 270) metode pendeteksian yang penting dianggap cukup efektif salah satunya adalah melalui mekanisme pelaporan perbuatan fraud secara anonim ( whistle blower hotline), proses penanganan pengaduan secara transparan dan prosedur deteksi fraud secara proaktif dirancang khusus untuk mengidentifikasi kejadian fraud.
Dengan demikian, sistem pelaporan kejadian fraud tersebut, setidaknya harus:
1)     Menerima informasi tentang risiko yang teridentifikasi dan saran perbaikan sistem;
2)     Menerima informasi tentang dugaan fraud;
3)     Menjaga kerahasiaan pihak-pihak yang terkait;
4)     Menyalurkan informasi kepada pejabat yang relevan;
5)     Menjamin adanya kajian dan investigasi yang tepat;
6)     Menjamin ketaatan keharusan pelaporan kepada pihak eksternal;
7)     Memberikan masukan (feedback) kepada pemberi informasi, menunjukkan bahwa informasi ditangani dengan sungguh-sungguh dan ditindaklanjuti.

     Dalam upaya menumbuhkan partisipasi publik guna mengungkap kecurangan Pimpinan organisasi harus membuat iklim yang kondusif dan  membuat komitmen yang jelas dan tidak memihak untuk mendukung, serta melindungi semua upaya dalam kaitannya dengan pengidentifikasian fraud didalam organisasi yang dikelola. Pada dasarnya, untuk meningkatkan efektivitas penerapan kebijakan wistlebowing, setidaknya mencakup perlindungan kepada whistleblower, regulasi yang terkait pengaduan fraud dan sistem pelaporan dan mekanisme tindaklanjut. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI membuat Peraturan nomor 60 Tahun 2012 tentang Pedoman pembangunan Zona Integritas menuju wilayah bebas dari korupsi dan wilayah birokrasi bersih dan melayani di lingkungan Kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah antara lain menyebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan partisipasi pegawai untuk melaporkan tindak pidana korupsi di tempatnya bekerja yang diketahuinya, perlu dibangun sistem penanganan pengaduan tindak pidana korupsi (whistleblower System) untuk menindaklanjuti laporan dan memberikan jaminan perlindungan terhadap pelapor.  
Perlindungan terhadap pelapor Tindak pidana (Wistle Blower) dan saksi Pelaku yang bekerja sama (justice Collaborator) diatur dalam Pasal 10 Undang-undang No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban sebagai berikut :
  1. Saksi korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum  baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan.
  2. Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara syah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana.
     Sistem pelaporan kejadian fraud tidak akan efektif berjalan jika tidak diikuti dengan respon yang tepat dan terkonfirmasi oleh si pelapor. Dalam rangka menindaklanjuti setiap pelporan tersebut harus dibuat prosedur deteksi fraud secara proaktif yang dirancang khusus untuk mengidentifikasi kejadian fraud dan kajian investigasinya.



Senin, 16 Maret 2015

FRAUD PREVENTION



Pencegahan terhadap kecurangan merupakan garis pertahanan pertama dan memberikan metode yang paling hemat untuk mengendalikan kecurangan. Menurut Dr. Steve Albert (3th 2009): tahap awal pencegahan fraud adalah menghilangkan kesempatan atau peluang melakukan fraud, dan menciptakan budaya jujur, terbuka dan saling tolong menolong.
Atribut pengendalian kecurangan yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya fraud meliputi :
     1. Kebijakan anti fraud;
     2. Struktur Pertanggungjawaban;
     3. Penilaian risiko fraud;
     4. Kepedulian Pegawai dan Pelanggan/masyarakat; dan
     5. Standar Perilaku dan Disiplin 
       Kebijakan anti Fraud  merupakan pernyataan sikap organisasi yang disajikan secara tertulis akan membantu para pihak yang berkepentingan dalam memahami arti fraud, sikap organisasi dalam menghadapi fraud dan apa yang harus dilakukan apabila menjumpai kasus yang diindikasikan sebagai fraud.
Menurut International Fraud Examiners Manual (2014) :
“ Another importand element of an overall fraud prevention programme is a written fraud policy that spcifically spells out who in an organisation handles varying fraud matters under differing circumtances. Instituting a sparate, formal anti-fraud policy sends a strong message to employees about the organisation’s intolerance for employee fraud”
Point pentingnya adalah bahwa melembagakan kebijakan anti-fraud secara resmi akan mengirimkan pesan yang kuat kepada karyawan tentang adanya intoleransi organisasi terhadap fraud oleh karyawan. 
     Pencegahan fraud menghendaki suatu sistem aturan yang secara aggregat meminimalkan kemungkinan terjadinya fraud dan memaksimalkan kemungkinan pendeteksian setiap aktivitas fraud yang mungkin terjadi. Kemungkinan tertangkap merupakan faktor yang paling mempengaruhi pelaku untuk melakukan atau tidak melakukan fraud. Karena prinsip ini, adanya sistem pengendalian menjadi amat penting untuk pencegahan fraud.
Senada dengan hal tersebut, Biegelman Bartow (2006) juga berpendapat :
The “Potential of being caught” and “the existence of a thorough control system “ are critical to any effective fraud prevention program (Biegelman Bartow 2006; executive roadmap, hal. 28)
Menurut Pedoman Teknis Fraud Control Plan (FCP) BPKP, 2010; tanggung jawab manajemen pada tiap tingkatan dapat digambarkan sebagai berikut : 
  1. Pada tingkat stratejik, tanggungjawab manjemen untuk mencegah dan mendeteksi kecurangan harus tercermin pada rencana organisasi, rencana manajemen dan manual operasi
  2. Pada tingkat operasional, tanggungjawab manjemen untuk mencegah dan mendeteksi kecurangan harus dicantumkan dalam uraian tugas, edaran dan prosedur
Menurut Diaz Priantara, 2013, hal.200, bahwa langkah pertama menangani fraud adalah melaksanakan fraud risk assessment (FRA) untuk mengidentifikasi  dan mengevaluasi faktor-faktor yang menyebabkan fraud terjadi dalam organisasi. Adalah menjadi hal yang kritikal untuk mengakui setiap organisasi memiliki risiko fraud melekat (inherent fraud risk) yang muncul dari kondisi intern dan ekstern yang terkait dengan industri, operasional, lokasi geografis, ukuran, struktur organisasi dan lingkungan ekonomi.
 Oleh karena itu organisasi perlu melakukan upaya yang sistematis untuk meningkatkan pemahaman pegawai terhadap fraud, misalnya melalui kegiatan sosialisasi mengenai fraud kepada pegawai dan Organisasi perlu menginformasikan kepada masyarakat dan  stakeholders berkaitan dengan nilai-nilai yang dimiliki dan praktek-praktek kegiatan yang lazim, hak serta kewajiban layanan suatu organisasi
Menurut The Australian National Audit Office and KPMG, 2011 bahwa :
“ To be effective, fraud prevention within an organisation requires a number of contributory element, including an ethical organisational culture, a strong awareness of fraud among employees, suppliers and client, and an effective internal control framework”.
     Menurut  International Good Practice Guidance, 2007 dalam Wikipedia, "Defining and Developing an Effective Code of Conduct for Organizations", the International Federation of Accountants] provided the following working definition:
"Principles, values, standards, or rules of behavior that guide the decisions, procedures and systems of an organization in a way that (a) contributes to the welfare of its key stakeholders, and (b) respects the rights of all constituents affected by its operations.
Menurut Buku Pedoman Teknis Fraud Control Plan, BPKP, 2010 Standar Perilaku dan Disiplin hendaknya dapat dipahami dengan jelas dan dimengerti, tidak boleh berdasarkan asumsi. Oleh karena itu, organisasi diharapkan dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. Organisasi harus mengembangkan standar perilaku yang tepat dan mengkomunikasikannya kepada seluruh pegawai, suplier/pemasok, pelanggan, dan masyarakat luas.
  2. Memuat pesan bahwa fraud terhadap organisasi baik yang dilakukan oleh orang dalam maupun orang luar organisasi tidak dapat diterima dan akan ditindak
  3.  Standar perilaku dan disiplin harus mencakup semua jenis dan kelompok pegawai.
  4. Sebagai panduan, pedoman perilaku memuat prinsip-prinsip, definisi, peraturan yang digunakan dan pelaporan atas pelanggaran didiplin
Salah Satu Upaya Membangkitkan Kepedulian Masyarakat untuk Anti Fraud