Untuk beberapa entry ke depan, penulis ingin mencoba menggali sistem preventif, deteksi dan investigatif sebagai alat pengendali terhadap fraud (kecurangan) dalam pengelolaan keuangan negara.
BPKP sebagai internal auditor pemerintah (Amrizal, 2004) mempunyai peranan dalam Pencegahan Kecurangan (Fraud Prevention), Pendeteksian Kecurangan (Fraud Detection), dan Penginvestigasian Kecurangan (Fraud Investigation). Dalam melaksanakan fungsinya sebagai internal auditor pemerintah antara lain telah mengeluarkan pedoman pengendalian kecurangan yang dikenal dengan Fraud Control Plan (FCP) yaitu suatu program yang dirancang untuk melindungi organisasi dari kemungkinan kejadian fraud/korupsi. FCP ini telah banyak disosialisasikan ke instansi pemerintah baik pusat maupun daerah, namun harus diakui implementasinya belum sesuai yang diharapkan. Melalui media ini penulis ingin memberikan penyegaran tentang fraud dan perlunya pengendalian terhadap fraud. Pada sesi ini, penulis ingin mengingatkan kembali apa itu fraud.
Dalam literatur akuntansi dan auditing,
fraud diterjemahkan sebagai praktik kecurangan. Black’s Law Dictionary (8th Ed) mendefinisikan
Fraud
sebagai :
The intentional
use of deceit, a trick or some dishonest means to deprive another of his money,
property or legal right, either as a cause of action or as a fatal elemenin the
action itself.
Definisi fraud
tersebut dapat diartikan sebagai suatu perbuatan sengaja untuk menipu atau
membohongi, suatu tipu daya atau cara-cara yang tidak jujur untuk mengambil
atau menghilangkan uang, harta, hak yang sah milik orang lain karena suatu
tindakan atau dampak yang fatal dari tindakan itu sendiri.
The Association of Certified Fraud Examinations (ACFE Manual, 2014),
mengkategorikan kecurangan dalam tiga kelompok sebagai berikut:
a.
Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud), kecurangan
laporan keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan
oleh manajemen dalam bentuk salah saji material Laporan Keuangan yang
merugikan investor dan kreditor. Kecurangan ini dapat bersifat finansial atau
kecurangan non finansial.
b.
Penyalahgunaan aset (Asset Misappropriation),
Penyalahagunaan
aset dapat digolongkan ke dalam ‘Kecurangan Kas’ dan ‘Kecurangan atas Persediaan
dan Aset Lainnya’, serta pengeluaran-pengeluaran biaya secara curang (fraudulent
disbursement).
c.
Korupsi (Corruption),
Korupsi
terbagi ke dalam Pertentangan Kepentingan (conflict of interest), Suap (bribery),
Pemberian illegal (illegal gratuity), dan Pemerasan (economic
extortion).
Berdasarkan
pengalaman empiris sebagai penegak hukum, D.Andi Nirwanto, 2014 menerangkan berbagai bentuk kecurangan yang dilakukan oleh
para pejabat publik, diantaranya :
a)
Petty Coruption
Biasanya
terjadi pada saat petugas birokrasi bertemu langsung dengan masyarakat yang
membutuhkan layanan publik, seperti pengurusan pasport, ijin pemakaman, ijin
pendirian bangunan, pelayanan jembatan timbang dan sebagainya. Proses yang
bertele-tele merupakan “rintangan” (roadblock)
yang sengaja diciptakan oleh pegawai pemerintahan dengan maksud agar ada” uang
tambhan” bagi kepentingan pribadinya.
b)
Patronage
Bentuk
perlindungan (patronage) yang
dilakukan pejabat publik, biasanya dalam hal rekruitmen, mutasi dan promosi,
yang tidak didasarkan pada prestasi dan kemampuan profesional. Tiadak adanya
parameter obyektif itu, dikarenakan pejabat publik menggunakan dan
memperdagangkan pengaruhnya (trading
influence) dengan maksud untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya.
c)
Bribery
Praktek
penyuapan (bribery) yang biasanya
terjadi pada sektor birokrasi pemerintahan dengan kewenangan
mengadministrasikan pendapatan negara (revenue
administration), maupun yang mengurusi perijinan tertentu. Kompensasi yang
diterima oleh pihak penyuap dalam bentuk penundaan atau pengurangan jumlah
pajak yang seharusnya dibayar, kick back
(pembayaran kembali) oleh pihak swasta atas keuntungan usaha yang diperolehnya,
pembayaran untuk memperlancar dan mempercepat penerbitan ijin (license) dan sebagainya.
d)
Misappropriation
Bentuk
pelanggaran hukum yang dilakukan berupa pemalsuan catatan atau dokumen,
klasifikasi barang yang tidak sesuai, serta berbagai bentuk kecurangan.
Terjadinya penyalahgunaan atau penyelewengan oleh pejabat publik, pada umumnya
dikarenakan tidak berjalannya pengendalian administrasi dan pemeriksaan (check and balance) transaksi keuangan.
e)
Embezzlement
Praktik
penggelapan (Embezzement) yang
dilakukan pejabat publik, biasanya dilakukan dengan cara mengambil sebagian
atau seluruh uang negara yang tersimpan di kas maupun dengan cara menggelapkan
asset negara itu.
f)
Extortion
Pemerasan
(extortion) dilakukan pejabat publik
dengan memanfaatkan ketidaktahuan, ketidakpahaman dan ketidakmengertian
masyarakat terhadap suatu ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Celah inilah yang digunakan oleh pejabat publik untuk menakuti masyarakat
sehingga mau menyerahkan sejumlah uang agar terhindar dari ancaman sanksinya.
Dalam perkembangannya World Bank
mengidentifikasi kecenderungan korupsi di Indonesia dengan tipologi
grand corruption dalam bentuk ste capture atau elite capture. Tipologi grand
corruption itu, meliputi : (a) suap kepada anggota DPR untuk mempengaruhi
produk legislasi; (b) suap kepada pejabat negara untuk mempengaruhi kebijakan
publik; (c) suap kepada lembaga peradilan untuk mempengaruhi keputusan terkait
dengan kasus-kasus besar; (d) suap kepada pejabat bank sentral untuk
mempengaruhi kebijkan moneter; dan (e) sumbangan kampanye ilegal untuk partai
politik.
Pertanyaan berikutnya, apa sebenarnya penyebab fraud ...?